“Kuhantukkan Kepalamu ke Dinding”
Sebuah cerita yang saya ikutsertakan dalam sebuah kompetisi menulis di @Nulisbuku dan Biovision. Pengalaman pertama saya menjadi seorang peserta dan mendapatkan sebuah kebanggaan sekaligus dikarenakan tulisan saya termasuk menjadi salah satu finalis terbaik walaupun tidak menjadi pemenang utama. Pengalaman.
Tidak menjadi pemenang,hanya menjadi finalis bkn berarti harus berhenti nulis.
Menikmati sebuah
pendidikan yang bagus dan bermutu merupakan idaman semua orang tidak terkecuali
dengan Aku. Aku dan ratusan siswa lulusan SMP bersaing hanya untuk
memperebutkan satu buah bangku di sekolah lanjutan menengah atas di sebuah kota
besar di Indonesia, Medan. Sebuah awal perjuangan yang berat untuk dilewati
mengingat sekolah yang menjadi incaranku merupakan salah satu sekolah menengah
atas negeri yang digaung-gaung sebagai salah satu sekolah negeri terbaik di
kota Medan. SMU negeri 4. Namun,
sebuah pengertian dari terbaik
terkadang menjadi rancu ketika sebuah pendidikan hanya dinilai berdasarkan
persepsi manusia awam saja dan tidak pernah ada sebuah parameter dan hasil dari
pengukuran tersebut yang bisa membuktikan bahwa pendidikan itu memang baik. Semua berdasarkan ‘menurut mereka’,
atau ‘dulu...sih’. Terjebak.
quote
Sebuah pendidikan
tidak lepas dari sebuah mata rantai yang saling berkesinambungan satu dengan
yang lain. Rangkaian mata rantai itu diantaranya adanya organik pengerak
pendidikan, sebuah institusi pendidikan, dan sistem pendidikan yang mumpuni itu
sendiri. Tidak dapat dicerai beraikan salah satunya. Tanpa salah satu dari mata
rantai tersebut, sebuah pendidikan yang baik tidak bisa terwujudkan sebagaimana
mestinya. Ibarat sebuah mobil tanpa ban. Cacat.
Sebuah proses
pendidikan yang paling mendasar adalah adanya proses belajar mengajar antara
pengajar dan orang yang diajar itu sendiri. Guru
dan murid. Karena dari keduanya inilah sebuah organik dari sebuah
pendidikan itu dapat dimulai. Sebuah transfer pengetahuan dan proses
pembelajaran dimulai. Di lain itu, proses pentransferan pengetahuan juga harus
ditopang oleh adanya sebuah institusi pendidikan yang baik. Sekolah atau kursus. Sebuah institusi
pendidikan yang baik sehingga mampu menghasilkan cendikia-cendikia muda penerus
bangsa yang berhasil dan bersinar di segala bidang ilmu. Namun, untuk
memunculkan cendikia yang bersinar harus ditopang dengan adanya bangunan,
fasilitas, serta aspek pendukungnya sehingga memungkinkan sebuah pendidikan
tersebut dapat berjalan dengan baik.
Tersedianya sarana pendukung proses pendidikan yang mampu memenuhi
kebutuhan proses pentransferan pengetahuan antara guru dan murid sehinga
keduanya dapat menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik sehingga hasil
yang diharapkan juga dapat maksimal. Pendidikan akan menjadi sempurna ketika
ada organik pendidikan itu, Entah itu pendidikan bersifat formal ataupun
informal dapat menjalankan proses pentransferan pengetahuan tanpa sebuah cela.
Apabila dua rantai
tadi sudah terpenuhi sehingga rantai yang ketiga juga harus terpenuhi juga
yakni adanya sebuah sistem pendidikan yang mengakomodasi kedua rantai tersebut.
Seperti slogan pendidikan nasional di Indonesia saat ini dan dikutip dari tokoh
pendidikan nasional Ki Hajar Dewantara, Tut
Wuri Handayani, yang berarti belakang seorang
guru harus bisa memberikan dorongan dan arahan. Karena dengan dorongan dan arahan
inilah seorang guru menjadi sosok panutan dan tolak ukur bagi murid-muridnya.
Seorang guru yang menjadi penopang dalam sebuah pendidikan harus mampu
mendorong murid-muridnya untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik melebihi
gurunya itu sendiri terutama dalam akademis pengetahuan, entah itu yang terukur
(kualitatif) ataupun tidak (kuantitatif). Selain itu, seorang guru juga mampu
mengarahkan murid-muridnya untuk berjalan dalam sebuah rel pendidikan yang
benar.
Sebuah sistem
pendidikan yang masih dipegang teguh hingga saat ini dengan mengisyaratkan
keberhasilan sebuah pendidikan dalam proses pentransferan pengetahuan tidak
terlepas dari keberadaan seorang guru yang mampu sebagai sosok yang dapat digugu dan ditiru oleh murid-muridnya. Karena dari merekalah,
cendikia-cendikia muda penerus bangsa dihasilkan. Bukan hanya pintar dalam
akademis ataupun pengetahuan namun pintar dalam akhlak. Cendikia yang mampu
menaikan harkat dan martabat bangsanya sendiri agar lebih baik dari
generasi-generasi sebelumnya.
unquote
Terjebak dalam sebuah
pendidikan yang berdasarkan slogan “menurut mereka” telah menjebakkan saya
dalam kondisi tersebut. Akhirnya saya masuk seleksi awal dari penerimaan murid
baru di sekolah ini. Satu diantara 210 siswa SLTP yang layak menghuni sekolah
ini selama 3 tahun kedepan nantinya. Sekolah yang katanya sekolah negeri terbaik saat ini. Setiap anak termasuk saya
dikelompokkan dan dibaurkan dengan murid lainnya berjumlah 30 orang. Terkecuali
untuk 60 anak dengan nilai EBTANAS terbaik. Mereka akan dibagi menjadi 2 kelas
yakni unggulan dan bayangan. Sedangkan saya tidak termasuk didalamnya. “Naseb,
dengan nilai EBTANAS yang standard..”, pikir saya. Namun, hal ini tidak menjadi
nilai kurang saya untuk bersekolah di SMU negeri ini. Saya memotivasi diri
saya, selama 3 tahun ke depan nanti, saya harus bisa menjadi salah satu murid
yang berada dalam lingkungan ‘elite’ karena nilai akademisnya. Entah itu di
kelas unggulan atau bayangan, tapi saya harus bisa. Karena bagi saya, bergaul
ataupun berteman yang memiliki kelebihan memberikan manfaat lebih dibandingkan
dengan jika saya hanya berteman dengan yang kurang memiliki kelebihan ataupun
biasa. Bukan untuk mengecilkan atau menjauhkan teman-teman yang memiliki
keterbatasan namun seseorang akan mampu meningkatkan motivasinya untuk menjadi
lebih baik apabila berada dalam lingkungan yang memiliki tingkat persaingan
yang ketat. Saya akan berusaha untuk merengkuh dengan segala cara apapun untuk
sebuah hasil akhir. Awalnya.
Selama 2 tahun saya
bersekolah dan belum dapat menjadi bagian kaum unggulan tersebut namun tidak
menyurutkan motivasi di awal tahun saya bersekolah. Sabar. Saya diajarkan untuk
bersabar sambil mempersiapkan diri untuk bisa bergabung dan bersaing. Tidak memalukan
diri sendiri apabila nantinya sudah menjadi bagian tersebut. Hingga masa-masa
‘persiapan’ saya terjadi di tahun kedua atau di kelas 2 ini. Saya mendapatkan
seorang guru yang benar-benar mampu mentransfer pengetahuanya dengan baik
kepada murid-muri yang diajarnya. Beliau adalah Ibu Sinambela. Begitu saya dan
murid-murid lainnya memanggilnya. Seorang guru Bahasa Indonesia yang
berpenampilan selalu rapi dengan rambut keritingnya yang tidak terlalu panjang.
Serta selalu disematkan jepitan rambut untuk menghilangkan kesan keriting dari
rambutnya. Dengan ukuran tubuh yang tidak terlalu tinggi sehingga sepatu
pantofel berhak yang tidak terlalu tebal mampu memanipulasi agar terlihat ‘lebih’ tinggi. Seorang guru yang
mengajar sebuah pelajaran yang mungkin dianggap ‘sepele’ oleh banyak murid namun di pelajaran inilah banyak siswa
yang terjatuh saat menghadapi ujian.
Pelajaran Bahasa Indonesia.
Pelajaran yang
sepertinya mudah namun ketika dihadapi juga tidak mudah. Tetapi di tangan
beliau, Ibu Sinambela, pelajaran ini menjadi terasa mudah. Tidak hanya untuk
dihafal ataupun diingat saja tetapi untuk dipahami. Sebuah pengetahuan akan
lenyap ketika hanya berdasarkan penghafalan bukan pemahaman. Otak memang
difungsikan sebagai harddisk dalam
organ tubuh manusia, namun memori tersebut tidak akan mampu bertahan lama jika
otak hanya difungsikan sebagai alat penghafal.
Di tangan Ibu
Sinambela, pelajaran ini awalnya sebagai sebuah momok bagi murid-murid yang
diajarnya termasuk saya. Bagaimana tidak, setiap beliau mengajar dipastikan
detak jantung setiap murid-murid akan berlari sekencang kuda.
“Jadi, saya mempunyai peraturan setiap saya akan dan selesai mengajar..”,
ujarnya mengawali pembicaraan di awal tahun ajaran baru. Tahun ajaran baru saat
saya duduk di bangku kelas 2.
Saya dan teman-teman
baru saya terdiam karena guru-guru sebelumnya tidak ada yang membuat peraturan
dalam belajar mengajar. Disamping itu, suara yang keras dan menggelegar
menambah efek dramatis di awal tahun ajaran belajar mengajar ini. Maklum Ibu
Sinambela merupakan keturunan suku Batak asli jadi walaupun seorang wanita
namun suaranya ‘merdu’ hingga menciutkan hati semua murid-murid yang duduk
dihadapannya.
“Mengapa semua diam?”, bentaknya yang mengagetkan. Semua diam dan
menunduk.
“takut?...hehehe...”, ujarnya kemudian untuk mencairkan suasana.
“Seperti yang sudah kalian ketahui, Saya akan mengajar pelajaran Bahasa
Indonesia.pelajaran yang mudah bukan?, tanyanya lagi. Dan disambut sahutan
mengiyakan secara bersamaan dari semua murid-murid tanpa terkecuali saya.
Sehingga suasana ini menjadi lebih terkesan lebih santai.
“Saya tidak sama seperti guru-guru yang lain, saya berbeda karena saya
menginginkan murid-murid yang saya ajarkan berbeda dengan murid lain yang tidak
dibawah kendali saya”. Memang terdengarnya seperti egois namun saya merasa
ada sesuatu yang memang berbeda dalam cara mengajarnya dibandingkan rekan-rekan
sejawatnya.
“setiap saya akan mengajar, akan ada pertanyaan dari pelajaran
sebelumnya. Kemudian, setelah selesai saya mengajar, setiap buku catatan harus
dikumpul. Saya akan menilai kerapian dari buku catatan kalian.Mengerti? kalau
masih gak ngerti hantukan kepalamu ke dinding”, ungkapnya.
“mengerti ibu...”, jawab kami semua. Aduh, beliau ini cukup
menyeramkan apalagi ini merupakan awal pertemuan. Belum ada 1 jam waktu belajar
berakhir tetapi sudah sepperti setahun berada di ruang kelas ini. Masih ada
setahun ke depan dengan perjuangan yang saya rasa akan berat nantinya tapi saya
mendapatkan setahun kemudian. Priceless.
Seringnya Ibu
Sinambela mengucapkan pernyataan “Kuhantukkan
kepalamu ke dinding” bukan semata-mata ingin melakukan sebuah kekerasan
dalam proses belajar mengajar namun beliau menginginkan murid-muridnya
memotivasi dalam dirinya masing-masing untuk memahami pelajaran yang sudah
diajarkan. Tidak hanya sekedar masuk dari
telinga kanan keluar telinga kiri. Proses pentransferan pengetahuan juga
tidak hanya sebatas pengenalan ataupun pengingatan. Oleh karena itu, beliau menegaskan bahwa akan ada pertanyaan
awal sebelum memulai pelajaran baru. Biasanya pertanyaannya dari pelajaran hari
sebelumnya. Dan ini akan ditanyakan secara acak kepada beberapa murid. Apabila
murid yang terpilih tidak bisa
menjawab maka hukuman akan diberikan kepada semua murid. Biasanya menulis
referensi novel atau karya tulis. Proses pemahaman merupakan kunci yang
ditegaskan dari awal peraturan digulirkan Ibu Sinambela. Walaupun hanya sebuah
pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi kalau tidak paham sama saja tidak berarti.
Beliau juga menegaskan bahwa pemahaman juga harus diterapkan ke pelajaran lain
walaupun dengan guru yang berbeda.
Sistem pendidikan
kecil dari seorang Ibu Sinambela yakni tidak menghafal tetapi memahami,
sehingga menjadikan semua murid-muridnya harus benar-benar memahami dahulu
pelajaran yang sudah disampaikan sebelum memulai pentransferan pengetahuan yang
baru. Beliau menginginkan semakin banyak bertanya semakin banyak dimengerti
maka akan semakin paham. Beliau tidak menginginkan murid-muridnya menjadi
seorang bangsa penghafal.
Saya menerapkan
sistem pentransferan pengetahuan itu untuk pelajaran lainnya. Awal-nya sulit
namun dengan pemahaman, ilmu pengetahuan yang kita terima tidak hanya sebatas
‘menempel saja’. Alhasil, di tahun ketiga tahun pendidikan saya di sekolah
tersebut, saya masuk menjadi bagian dari kaum unggulan walaupun di kelas
bayangan. Setidaknya motivasi awal saya terwujud. Ada hasil.
Namun sejalan waktu,
bahwa menjadi bagian dari kaum unggulan di bidang akademis tidak hanya sekedar menambah
arogansi saya semata. Tetapi akhirnya saya sara bahwa sebuah proses
pentransferan pengetahuan itulah yang terpenting. Dimanapun dan dengan siapapun
saya bisa mendapatkan pengetahuan, bahwa sebuah proses pentransferan itulah
yang terpenting. Akhirnya.
Konsep “Kuhantukan kepalamu ke dinding” itulah
yang menjadikan motivasi saya untuk belajar sebuah pengetahuan tidak hanya
sebatas penghafalan. Apabila saya sudah paham, dengan adanya peng-hantukan kepala
ke dinding saya jamin tidak akan hilang. Tidak lekang oleh waktu kecuali sebuah
kematian. Saya semakin merasakan manfaat bimbingan dan dorongan dari seorang
Ibu Sinambela ketika di tahun ketiga, saya tidak mendapatkan transferan
pengetahuan untuk pelajaran Bahasa Indonesia dari Ibu Sinambela. Sistem
pendidikan yang diterapkan setiap guru memang tidak sama tetapi dengan Ibu
Sinambela saya masih dapat mengingat dan memahami apa yang sudah diajarkannya
setahun yang lalu. Bahkan pengetahuan itulah yang menjadi tolak ukur setiap
pelajaran Bahasa Indonesia yang diajarkan oleh guru saya yang baru.
Sekolah saya yang ‘menurut mereka’ merupakan sekolah negeri
terbaik memang tidak memiliki bangunan atau sarana infrastruktur yang mumpuni
tetapi di sekolah ini, saya mendapatkan sebuah organik pendidikan yang terbaik
yaitu Ibu Sinambela dan juga sistem pendidikan kecil yang diterapkan oleh
beliau. Proses pentransferan pendidikan ala Ibu Sinambela. Namun, semua kembali
lagi dengan rantai pendidikan. Jika institusi pendidikan tersebut sudah
memiliki kemampuan yang baik, serta guru yang baik namun murid-muridnya tidak
mampu menyerap dengan baik saat proses pentransferan pengetahuan maka
pendidikan itu dianggap gagal. Akan tetapi, jika insitusi pendidikan itu hanya
mampu menyediakan ala kadarnya namun mampu menyediakan guru dan sistem
pendidikan yang baik serta proses pentransferan pengetahuan dapat diterima
dengan baik maka pendidikan itu sudah berhasil.
Saya merasa
mendapatkan sebuah kebanggaan mendapatkan kesempatan untuk mencicipi
pentransferan pengetahuan yang diberikan oleh Ibu Sinambela. Karena tanpa
beliau mungkin saya tidak bisa seperti sekarang. Tidak menganggap remeh sebuah pelajaran
apapun termasuk Bahasa Indonesia. Karena sebuah bangsa yang maju adalah bangsa
yang mampu mengenal dan memahami bahasanya sendiri, Bahasa Indonesia. Di tengah
gempuran sebuah modernnisasi dengan diharuskannya setiap murid untuk mengetahui
dengan baik bahasa asing sebagai modal utama untuk bersaing dengan bangsa
asing, namun akan hilang melenyap jika tidak dimantapkan dengan pengetahuan
yang baik akan Bahasa Indonesia.
Saya merindukan
sistem pendidikan itu, saya merindukan organik pendidikan itu, dan saya
merindukan konsep pendidikan “kuhantukan
kepalamu ke dinding” itu. Guru tidak hanya sekedar mentransferkan
pengetahuannya kepada murid-muridnya tetapi guru juga harus memastikan bahwa
pentransferan pengetahuan itu dapat diterima dengan baik oleh murid-muridnya. Sitem
pendidikan ini ada di dalam jiwa salah satu dari seorang guru terbaik saya, Ibu
Sinambela. Banyak murid yang pintar tapi hanya sekedar menghafal. Sungguh
disayangkan, apabila hanya sekedar menghafal mungkin satu atau dua hari kemudian akan melupakan pengetahuan itu.
Ironis.
Ps: Dedicated to my
teacher “IBU SINAMBELA”
-mungkas-
With life,
MKS
With life,
MKS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar